Dengan ketela, Wali Kota Salatiga, Yuliyanto, SE, MM, akan membawa Kota Salatiga ke kancah internasional melalui Unesco Creative Cities Network (UCCN) di bawah PBB. Olahan ketela ini dipilih karena adanya perubahan perilaku masyarakat modern, yang saat ini tidak lagi mencari roti, melainkan ketela atau singkong dengan cita rasa modern. Wali Kota yakin, dengan olahan ketela bisa membawa Kota Salatiga dikenal oleh masyarakat internasional. Sebab, partisipasi masyarakat dan UKM khususnya bidang makanan olahan singkong di Kota Salatiga, telah mampu memberikan kontribusi aset sebesar Rp 15 milyar per tahun.
“Ini sangat luar biasa. Meskipun tanpa ada bantuan dari Pemerintah yang mencapai ratusan juta bahkan milyaran rupiah, tetapi dari para pelaku usaha kuliner berbahan dasar ketela atau singkong ini bisa mendatangkan pendapatan sebesar 15 milyar rupiah di Kota Salatiga. Tentunya yang berbelanja tidak hanya warga Kota Salatiga, tetapi dari luar Kota Salatiga, namun telah memacu perputaran uang di Kota Salatiga,” ungkap Yuliyanto, saat mencanangkan Kota Salatiga sebagai Kota Kreatif Kuliner ‘Goes To UCCN’, di Rumah Dinas Wali Kota, Rabu (19/5/21), bersama anggota Forkopimda, Ketua Tim Penggerak PKK, Sekda, Asisten Sekda, seluruh pimpinan OPD serta Komunitas Ekonomi Kreatif di Kota Salatiga.
Yuliyanto menyampaikan jika sebelum pencanangan, tepatnya sekitar 6 bulan lalu, ia menerima informasi dari Kemenparekraf terkait adanya proyeksi Kota Salatiga sebagai Kota Kreatif Dunia. Awalnya, Pemkot berencana memilih sektor Literasi karena Kota Salatiga sudah empat kali berturut-turut berhasil meraih predikat sebagai Kota Toleran. Namun, setelah melalui diskusi yang melibatkan masyarakat dan melalui tahapan yang cukup panjang, akhirnya diputuskan untuk memilih sektor Kuliner.
Sebagai kegiatan pembangunan yang tidak akan sukses tanpa partisipasi atau kontribusi dari seluruh lapisan masyarakat, Wali Kota memohon dukungan agar keinginan Kota Salatiga untuk bisa lebih dikenal di dunia internasional melalui kuliner berbahan dasar ketela bisa terwujud. Upaya pembangunan yang spesifik membangun manusia, spesifik lagi membangun kuliner dan lebih spesifik lagi membangun makanan olahan singkong dinilai memiliki nilai ekonomi dan multiplier effect yang positif.
Dengan memilih kuliner berbahan dasar singkong ini diharapkan akan menumbuhkembangkan kuliner lain seperti kopi dan makanan olahan lainnya. Masyarakat tidak perlu berkecil hati, karena makanan ketela tidak lagi dikenal sebagai makanan orang kampung. Tetapi, masyarakat perkotaan, restoran dan kafe sudah banyak yang menyediakan makanan tradisional berbahan dasar ketela tersebut sebagai makanan favorit.
“Saat ini, kota di Indonesia yang sudah masuk sebagai Kota Kreatif Dunia diantaranya Pekalongan, Kota Bandung dan Kota Ambon. Sebenarnya Kota Solo sudah sangat ingin bisa masuk dan mengikuti kota kreatif dunia ini, tetapi belum berhasil. Harapan saya, kerja keras kita semua untuk mem-branding Kota Salatiga dapat berhasil. Tentu akan menambah rasa bangga kita sebagai masyarakat Kota Salatiga, kota yang livable dan lovable, kota yang banyak diidam-idamkan orang, dan kota yang memiliki angka harapan hidup tinggi karena tingkat stress dan biaya hidup yang rendah,” tegas Yuliyanto, yang sekaligus menandai dicanangkannya Kota Salatiga sebagai Kota Kreatif Kuliner dengan melepas balon berhadiah bagi masyarakat yang menemukannya..
Sementara, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Salatiga, Valentino T Haribowo menyampaikan, banyak prestasi yang ditorehkan oleh Pemerintah Kota Salatiga selama ini, namun belum lengkap jika Kota Salatiga belum berpredikat sebagai salah satu kota yang bergabung di Unesco Creative Cities Network (UCCN) atau Jaringan Kota Kreatif Dunia.
Multiplier effect dari sektor kuliner juga telah berimplikasi mewujudkan Salatiga yang SMART sehingga Salatiga layak menyandang julukan sebagai livable dan lovable city. Tak dipungkiri, kota yang layak huni dan penuh kearifan lokal ini memiliki pendapatan perkapita penduduk di atas rata-rata dengan IPM tertinggi ke-2 di Jawa Tengah dan angka kemiskinan terendah.
Comments are closed