Emaha Ainun Nadjib atau yang lebih populer dengan panggilan Cak Nun berharap Kota Salatiga memberikan contoh soal toleransi kepada seluruh bangsa Indonesia maupun dunia. Demikian pintanya saat mengisi pengajian akbar tingkat Kota Salatiga dengan tema “Sinau Bareng Cak Nun” di lapangan Pancasila Jumat, 13/7 malam.
“Menurut informasi Salatiga merupakan kota yang terdiri dari berbagai macam suku sehingga rawan konflik, termasuk rawan konflik latar belakang agama, namun hingga saat ini selalu kondusif hal tersebut karena warganya yang selalu guyub dan menjaga perbedaan tersebut. Oleh karenanya daerah lain di Indonesia ini perlu belajar dari kota ini. Maka memang pantas Salatiga mendapatkan predikat kota paling toleran se-Indonesia,” sampai Cak Nun.
Hadir dalam Sinau Bareng Cak Nun, walikota dan wakil walikota beserta ibu, sekda beserta ibu, forkopimda, FKUB, para kiai dan tokoh agama Salatiga. Ribuan warga tumpah ruah bahkan meluber ke luar jalan penghubung lapangan Pancasila.
Selain itu Cak Nun juga menegaskan bahwa dalam mengucapkan salam tidak perlu semua salam dari berbagai agama disampaikan saat acara-acara resmi. “Keragaman itu adalah keindahan, kerukunan tidak perlu menjadikan orang yang beragama lain mengucapakan salam dengan apa yang diluar keyakinannya. Karena semua salam itu adalah doa untuk keselamatan. Jadi orang Islam menyampaikan salam kepada orang Kristen dengan Assalamualaikum, sedang yang Kristen menjawab dengan yang dituntunkan dalam Kristen yaitu shalom. Toh perbedaan tersebut bisa menyatukan, dan semua tidak harus sama. Dan saya berharap dari Kota Salatiga ini dimulai pengucapan salam tersebut sehigga bisa diikuti seluruh Indonesia,” tambah Cak Nun.
Sinau Bareng Cak Nun diawali dengan pembukaan lagu Indonesia Raya, dan dilanjutkan dengan lagu Syukur sebagai wujud syukur atas diperingatinya HUT ke-1268 Salatiga. Dalam kesempatan tersebut hadir pula Sabar Subadri pelukis Kaki. Sebagai wujud cintanya kepada Salatiga, Sabar Subadri berkenan melusi wajah Cak Nun untuk diberikan kepada Cak Nun secara langsung.
Comments are closed